2100 Kilometers

19.58.00 Febry Meuthia 7 Comments

Sedikit Jawa Barat, sebagian Jawa Tengah, sebagian Jawa Timur dan secuplik DI Yogyakarta. Itulah perjalanan yang kami lakukan bertiga, saya, suami dan anak pada libur Lebaran kemarin. Boleh dibilang kami melakukan roadtrip keliling Jawa mini selama 7 hari 6 malam.

Kami diberi karunia tinggal berdekatan dengan orang tua, sehingga setiap lebaran kami tidak harus repot dengan urusan mudik jauh. Saya bersama suami & anak, juga ayah & ibu saya di Bekasi cukup mengunjungi mertua di Grogol. Enak banget kan?

Minal Aidin Walfaizin
Tapi namanya manusia, mana ada puasnya? Udah dikasih enak gak usah macet berpuluh-puluh jam untuk urusan mudik, malah kepingin ngerasain suasana mudik.

Jadilah kemarin saya merencanakan perjalanan bersama arus mudik, untuk mendatangi berbagai tempat. 


Rute yang kami jalani adalah Bekasi-Semarang-Solo-Tawangmangu-Madiun-Jombang-Malang-Blitar-Pacitan-Yogyakarta-Slawi dan kembali ke Bekasi.

Day 1 

Kami berangkat hari pertama lebaran dengan harapan jalan sudah lengang karena semua pemudik sudah sampai daerah tujuan. Pengalaman beberapa tahun sebelumnya seperti itu.

Ternyata itu adalah asumsi yang keliru, seiring berjalannya waktu, semakin banyak orang yang berpikiran sama dengan kami, "berangkat pas lebaran aja, pasti sepi". Salah besar. 

Jalan masih sangat padat, sehingga jarak Bekasi-Semarang yang seharusnya bisa ditempuh dalam waktu 8 sampai 9 jam, molor menjadi 12 sampai 13 jam. Tapi karena niatnya memang mau merasakan suasana mudik ya dinikmati saja.

Dari Bekasi pukul 15.30, kami melaju di tol Cikampek dengan kecepatan lumayan. Terus mengambil lajur paling kanan, karena kemacetan setidaknya 1km pasti terjadi menjelang rest area, baik rest area besar seperti di km 19, km 39 dan km 57, juga di rest area kecil antaranya. 

Pengelola jalan tol Cikampek cukup responsif dengan memberlakukan sistem otomatis pada gerbang Cikarang Utama, kartu otomatis keluar & palang sudah naik, sehingga proses pengambilan kartu tol lebih cepat. 

Kami keluar tol melalui exit Dawuan/Kalihurip di km 68, melewati kawasan PT. Pupuk Kujang langsung menuju route 1 jalan Karawang-Cikampek.

Lewat jalan situ ternyata adalah pilihan tepat. Sepi dan lancar. Saat melewati simpang Jomin di bawah kami, terlihat antrian kendaraan yang keluar dari gerbang Cikopo.

Kemacetan baru kami alami saat mencapai daerah Patokbeusi  Subang. Dari situ terus mengantri sampai masuk pintu tol Palimanan Cirebon. 

Beberapa titik kemacetan pada hari h lebaran bukanlah pasar tumpah seperti sebelumnya . Melainkan jelang rest area seperti SPBU, Masjid, Rumah Makan bahkan beberapa mini marketpun memfungsikan diri sebagai rest stop.

Saya yang kebagian mengemudi pertama, lumayan juga pegelnya. Tapi ga berani ngeluh. Takut dikatain sama suami, "you ask for it, didn't you" hehehe.

Lepas pintu tol Pejagan, saya ragu antara kembali ke route 1 atau lewat jalur alternative via Slawi. Akhirnya kami beristirahat makan sate tegal balibul di jalan raya Ketanggungan-Tanjung

Selesai makan saya liat antrian panjang kendaraan dari tol yang mengarah ke Tanjung, akhirnya saya memutuskan mengambil arah sebaliknya. Arah sebaliknya ternyata juga terjadi kepadatan, terutama kendaraan yang mengarah ke Purwokerto. Tapi tidak terlalu panjang, apalagi saya menuju ke Slawi, jadi bisa ambil lajur paling kiri.



Setelah antri sebentar di pertigaan Ketanggungan-Margasari, akhirnya saya bisa memacu Rush merah saya dengan kecepatan 80km/jam di jalan raya Slawi-Ketanggungan yang sunyi sepi. 

Hanya ada satu dua kendaraan yang lewat sini. Jalannya bagus, ada satu dua kawasan yang rusak, tapi overall okelah.

Lumayan serem sih, nyetir hampir jam 12 malem di jalanan sepi, yang agak gelap, kanan sawah, kiri kampung yang sudah tidur. Mana suami & anak saya juga tidur. Injek gas dalem-dalem aja deh

Setelah Slawi, masih di jalur alternative saya meneruskan mengemudi melalui Pangkah, jalan raya Balamoa, Kalijambe dan masuk kembali ke route 1 di sekitar Kramat, di jalan raya Pemalang Tegal.

Lancar, sepi, rada serem (karena gelap) tapi lumayan mendahului kendaraan yang mengantri di Tanjung, Bulakamba, Brebes & Tegal. 

Di jalur sini saya menemukan spbu besar yang sepi dengan toilet bersih. Beda 180 derajat dengan spbu sepanjang route 1 yang dipenuhi mobil-mobil parkir. 

Kami bertukar giliran, suami saya melanjutkan mengemudi. Sisa perjalanan kami malam itu terbilang lancar, pukul 02.45 wib, kami masuk kota Semarang dan beristirahat di hotel Grasia.

Day 2   

Pagi sekitar pukul 10.00 kami check out dari hotel, menemui sahabat kami, keluarga om Nanda & tante Cynthia pemilik Istana Brilian pusat oleh-oleh dan buah tangan di Simpang Lima Semarang.

Bersama Lucia, Laven dan Lauren anak-anak om Nanda & tante Cynthia beserta kerabat mereka yang juga sedang berkunjung ke Semarang,  kami diajak melihat-lihat Pagoda Avalokitesvara, di kompleks Vihara BudhaghayaWatugong. 


Kompleks Vihara Budhaghaya Watugong
Pohon Bodhi yang dibawa dari tanah asalnya
Juga ada pohon bodhi, serupa dengan tempat Sidharta Gautama bertapa, yang dibawa & ditanam oleh Narada Mahatera pada tahun 1955.

Sebuah patung raksasa sitting Budha karya om Nanda ditempatkan di dalam vihara


Giant sitting Budha
Puas  melihat-lihat, berfoto dan ngemil risoles hangat & limun kawista dingin menyegarkan, kami berangkat makan siang di Mang Engking Ungaran. 

Udang besar-besar, gurame, pencok kacangpanjang & kepiting mendarat dengan mulus di perut kami.
Selesai makan siang, kami melanjutkan perjalanan ke Solo, sedangkan keluarga om Nanda melanjutkan wisata ke gua Maria di Ambarawa.


Istana Brilian di Simpang Lima Semarang
Perjalanan Ungaran-Solo cukup melelahkan. Sepanjang perjalanan melewati Salatiga - Boyolali macet. Baru longgar setelah kami kembali mengambil jalur alternative Bolon langsung tembus ke Manahan.

Kami berkeliling kota Solo, menikmati suasana malam hari kedua Idul Fitri, sambil mencari tempat makan. Atas saran pakde Blontankpoer, sang peracik Blontea, kami makan soto di daerah Timuran. 

Selesai makan kami melanjutkan perjalanan. Rencananya akan menginap di kawasan wisata Tawang Mangu Karang Anyar. Agar besok pagi  kami  berwisata ke air terjun Jumog dan candi Sukuh.

Perjalanan ke Tawang Mangu ternyata membuat merinding. Terutama selepas Karang Anyar, saat memasuki pegunungan. Hutan pinus di kanan kiri & sepi pulak. Hampir tidak percaya kalau ini adalah jalan menuju ke tempat wisata. Tapi ya wajar sih, secara saat itu sudah hampir jam sepuluh malam.

Saya memang penakut soal hantu-hantuan, mungkin karena itu juga rasa-rasanya pernah suatu saat di perjalanan ke  Tawang Mangu itu sekelebat ada yang duduk di sebelah saya di kursi belakang. Kaget dan meremang bulu kuduk saya.

Sampai di Tawang Mangu, kami mulai mencari-cari hotel. Mungkin karena sudah ada perasaan takut, saya mulai  ragu untuk bermalam disini. Dalam khayalan saya, penginapan yang tersedia seperti villa berdarah semua.

Saya mengusulkan menginap di Karang Anyar atau kembali ke Solo, tapi suami saya memilih untuk melanjutkan perjalanan ke kota selanjutnya yakni Madiun.

Kami kemudian menanyakan petunjuk arah kepada seorang bapak di jalan. Menurutnya, akan lebih dekat dan lebih cepat jika kami melanjutkan perjalanan ke atas Tawang Mangu ketimbang turun lagi ke Solo menuju ke Madiun. Memang medannya berat, karena tanjakan curam dan berkelok kelok, juga agak sepi.

Akhirnya kami melanjutkan perjalanan ke Madiun melalui Sarangan, Magetan, Maospati menuruti saran bapak tadi. 

Disinilah horor semakin menakutkan sodara-sodarah...

Yang dikatakan bapak itu agak sepi ternyata bohong. Kenyataannya adalah... SEPI SEKALI!

Selepas Tawang Mangu, di jalan raya Tawang Mangu - Plaosan dengan ketinggian 1600 sampai dengan 1900 dpl memasuki daerah Blumbang sampai dengan perbatasan Jawa Tengah - Jawa Timur di daerah Ngancar, kanan kiri adalah hutan belantara gelap. 

Hanya ada satu mobil di depan mobil kami. Saat kami merapatkan  jarak dengan mobil tersebut, tiba-tiba saja mobil tersebut berbelok ke dalam hutan yang gelap. Bah! Ngapain tu orang? Jangan-jangan buang mayat. Hiiyy!

Kami terus melaju di kegelapan malam melewati hutan tersebut,  saya yang masih duduk di kursi belakang, memeluk Raafi, anak saya yang sudah pindah ke kursi belakang menemani saya, tanpa berani melihat kearah hutan di kanan kiri. Kalo tahu-tahu ada yang gelantungan di pohon gimana? Idih... Males bener

Saya  mulai menyangsikan keputusan mengikuti saran bapak-bapak tadi. Memang sih, lewat sini  memang cuma separuh jaraknya daripada kembali ke Solo lagi. Tapi seramnya itu lho. 

Jangan-jangan si bapak yang kami tanya tadi bukan orang. Err... jangan-jangan dia emang mau nebeng sampe hutan gelap tadi. Huuuuaaaaaa

Belakangan saya liat di peta, daerah yang kami lewati ini, ada yang bernama Randu Gede (pohon besar) dan Alastuwo (hutan tua) Nah! Bisa ngalahin seremnya? 

Tambahan lagi, setelah saya share cerita tentang rute Tawang Mangu-Sarangan ini ternyata lebih menakutkan lagi. Ada daerah yang terkenal dengan pasar setan, karena terdengar ramai suara-suara seperti dipasar, tapi tidak terlihat mahluk yang berjual beli.

Ada juga yang disebut daerah Cemorosewu, yang terkenal angker, dan banyak sekali cerita mistis yang melingkupi daerah lereng gunung Lawu yang kami lewati tersebut.

Memasuki kawasan dengan tanda-tanda kehidupan di Magetan bukan main melegakan buat saya si penakut ini. Apalagi saat sudah memasuki Madiun, senangnya bisa segera beristirahat. Ketakutan rupa-rupanya sangat menguras energi. 

Semua hotel yang direkomendasikan teman-teman melalui jejaring sosial media di Madiun penuh. Karena sedikitnya ada 3 SMP Negeri di Madiun yang mengadakan reuni akbar.

Sempat sih ada satu hotel dengan satu kamar tersisa. Karena sudah lelah, saya menyetujui harga limaratus ribu rupiah untuk sebuah kamar yang sangat jelek. Tapi ternyata wc nya tidak bisa di flush, jadi saya cancel & barang-barang yang sudah kami turunkan, kami naikkan lagi ke mobil.   

Setelah yakin tidak ada lagi kamar tersisa di Madiun untuk kami, akhirnya kami melanjutkan perjalanan. Berharap mendapatkan kamar di kota berikutnya. 

Sempat ada teman yang berpesan agar berhati-hati, karena setelah Madiun & Caruban saya akan melewati hutan di wilayah Saradan. Ini membuat saya kecut, yaeelaah, masa hutan lagi sih.

Kami betul-betul tidak beruntung, sepanjang Madiun, Caruban sampai Nganjuk, tidak satupun kamar tersedia. Semua hotel penuh dan rata-rata karena kegiatan reuni akbar di tiap-tiap kota. 

Memasuki kota Jombang, ada tiga hotel lagi yang kami datangi, satu diantaranya bahkan kami gedor pintunya, masih juga belum ada kamar yang tersedia.

Lelah, ngantuk dan kedinginan, rasanya sudah hampir menyerah memilih beristirahat di spbu, tapi berkah Idul Fitri menghampiri kami.
Di ujung kota Jombang, hotel Yusro menyambut kedatangan kami dengan terbuka dan kamipun bisa beristirahat dengan nyaman di hotel bintang tiga tersebut. Harga yang kami bayar, ga beda jauh dengan harga kamar jelek dengan wc rusak tadi. 

Alhamdulillah ya Allah.


Hotel Yusro Jomban

Dan tentang hutan di Saradan yang sempat membuat saya kebat-kebit, ternyata ga ada apa-apanya tuh dibanding yang sebelumnya. Malahan ramai dan padat, karena merupakan  jalan utama.

To be continued...

*Informasi tentang Hotel Grasia Semarang dan Hotel Yusro ada di tulisan saya sebelumnya "Some other hotels and rooms"




7 komentar:

  1. Menyenangan banget mba feb...penasaran, bisa detil gitu critanya, apa sempet nyatet ato ingatan aja mba? Wonderwoman dehhhh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cuma nyeritain yang diinget doang kok nie, kalo nama-nama daerah dan lokasi pake alat bantu google map :))

      Hapus
  2. Kayak episodenya Tukul Misteri....hahahahaha...Btw, seruu..

    BalasHapus
  3. Baca kisah 7 hari 6 malam ini cukup tenggelam.. lanjutin nulis mom.. ^___^"

    BalasHapus
  4. hahahaha... iseng tenan ki, mbak. Tapi kayaknya perjalanan ikut arus mudik bakalan bikin kangen pengen ngulang lagi deh

    BalasHapus
  5. Iyo mbak wiwikwae, namanya kayak kurang kerjaan

    BalasHapus
  6. sungguh mnegangkan dan seru nih , hehe 2100 km... pengalaman saya maksimal baru 1000an km hehe... itupun udah empot empotan

    BalasHapus