A mall called television

13.49.00 Febry Meuthia 0 Comments


Pada tahun 2010 lalu, saya pernah menulis opini, di majalah Trax yang dianggap sebagai pembelaan diri berjudul Televisi itu etalase
  
Tulisan ini bisa saja disebut pembelaan diri bagian kedua, walau sesungguhnya saya hanya ingin menjelaskan  perbedaan sudut pandang dan ekspektasi antara pekerja tv dengan mereka yang menonton.

Saat ini saya sudah pensiun sebagai pegawai tv kecuali melakukan beberapa pekerjaan freelance untuk beberapa pertunjukan dan event musik yang ditayangkan. 






Berkunjung ke mall, sejak masuk kita akan disuguhi berbagai tampilan barang di etalase, beberapa bahkan ditambah panggilan para pramuniaga untuk menawarkan barang dagangan mereka. "Kaos nya kakaaaak..."

Jika tertarik, kita akan masuk ke dalam toko, melihat-lihat lagi dengan  dengan atensi yang bertambah. Dan setelah teryakini, baru membeli.

Gerai di mall bermacam-macam. Ada butik ekslusif yang hanya menjual barang berkualitas super degan harga mahal tentunya .Biasanya butik ini sepi pengunjung dan jumlah gerainya paling sedikit. 

Kemudian ada departement store yang menjual barang-barang berkualitas sedang yang tidak terlalu mahal. Untuk toko-toko semacam ini, pengunjungnya relatif lebih banyak daripada butik ekslusif.  

Dan tentu saja ada mega bazaar yang menjual barang obralan, kualitas tidak terlalu diutamakan, yang penting murah. Biasanya bagian ini yang paling ramai.



Saat kita menghidupkan tv, kita bisa melihat beragam tayangan. Ada tayangan yang dibuat dengan persiapan panjang, dipikirkan detail estetikanya, dan tentu saja modal yang besar. 

Ada tayangan yang dibuat dengan tingkat kesulitan sedang. 

Dan pastinya ada tayangan yang dibuat dengan sederhana, modal sedikit, mudah pengerjaannya yang penting meriah.

Apakah membuat acara megah, susah dan mahal dianggap lebih berprestasi daripada membuat acara murah meriah ramai?


Tidak. 

Parameter para pekerja produksi tv  dilihat dari rating/share dan revenue program yang dibuat.


Jika program yang dibuat ditonton oleh banyak orang, sekali lagi di TONTON (tidak selalu berarti disukai) dan mendapatkan untung besar (modal sedikit, pemasukan banyak) baik pula lah rapornya.

Berbeda dengan kritik yang ada selama ini, tehnik memproduksi suatu acara tidak termasuk dalam elemen yang diukur dalam menilai keberhasilan suatu program. 



 Terobosan-terobosan baru, pengaplikasian konsep kreatif yang mampu membuat suatu program sederhana dengan biaya kecil yang menghasilkan untung besar, justru menjadi nilai lebih para pekerja tv.  

Saya ambil contoh Inbox dan Hiphiphura, satu acara yang dikritik karena menampilkan artis & band secara lipsync, justru membawa saya sebagai finalis IYCEY Awards British Council dua tahun berturut-turut. 


Parameter yang berbeda ini seringkali menjadi bahan debat yang panjang dan panas antara pengamat dan para pembuat acara tv. 

Dan pada akhirnya selama nilai rapornya masih bagus, selama program yang dibuatnya tidak melanggar  P3PS KPI seperti tidak mengandung muatan seksual, muatan kekerasan, Napza, rokok dan alkohol serta perjudian, para pembuat acara tv akan bergeming.

Sebuah mall, pembangunan dan keberadaannya sering sekali menimbulkan kritik panjang nan pedas, tetap saja setiap akhir pekan tidak banyak mall yang sepi pengunjung. 

Seperti mall, anda bisa memilih berkunjung, melihat-lihat dan menghabiskan waktu di butik ekslusif, departement store ataupun mega bazaar. Bahkan anda juga bisa memilih untuk tidak berkunjung sama sekali sehingga mall nya tutup dan berganti konsep.

Karena suatu program, sebanyak apapun kritikan terhadapnya, jika masih tetap banyak yang menonton akan tetap dianggap memiliki performa yang baik. Sebaliknya, jika sudah tidak ada yang menonton, sebanyak apapun pujian yang dialamatkan kepadanya, tetap akan dilikuidasi.


0 comments: